Gambar dimuat di http://liluku.blogspot.com/
Di Tana Toraja ada sebuah ritual atau kebiasaan dalam
prosesi pemakaman. Cukup unik dan, mungkin menyeramkan karena mayat yang telah
disemayamkan bertahun-tahun di sebuah tebing tinggi dan kuburan batu, tiba-tiba
jasadnya bangkit…
Mayat itu kemudian berjalan mencari rumahnya. Setiba di
rumah, dia akan tidur lagi. Cerita mayat berjalan ini sudah dikenal masyarakat
Toraja sejak jaman leluhur. Hingga kini ritual tersebut masih ada dan bisa
dilihat dengan mata telanjang.
Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu,
Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Di tengah balai-balai rumah, warga menggelar
sebuah ritual. Mereka menyebutnya: Ma’nene. Sebuah ritual untuk mengenang
leluhur, saudara dan handai taulan yang sudah meninggal. Dari sinilah misteri
budaya Tana Toraja terkuak.
Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga. Semua orang
memandang serius. Siapa wanita itu? Entahlah. Dilihat dari belakang, dia
usianya kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua. Rambutnya tergerai dengan lebat.
Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak bergerak. Kedua tangannya
disilangkan ke depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian kegemarannya: warna
biru.
Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih kecoklat-coklatan.
Kelihatannya dulu dia pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya menjadi
begitu. Yang aneh, meski dikelilingi puluhan orang, wanita itu tetap tak
bergeming. Mematung. Tidak menoleh atau berbicara. Setelah didekati, alamak,
ternyata dia adalah sesosok mayat!
Gambar dimuat di https://www.lintas.me
Ma’nene, begitu kata orang Toraja. Apa itu? Itu adalah mayat
yang telah diawetkan. Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang
disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati biasanya
diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di sana.
Nah, mayat tadi, adalah mayat seorang ibu sekaligus nenek
yang telah meninggal selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut masih
utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah tentang mayat utuh ini sudah ada sejak
tahun 1905.
Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di
Desa Sillanang. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai sekarang.
Uniknya, mayat untuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. Alami.
Menurut anak ketua adat setempat, kemungkinan ada semacam
zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia. “Kalau saja ada
ahli geologi dan kimia yang mau membuang waktu menyelidiki tempat itu,
sepertinya teka teki gua Sillanang dapat dipecahkan,” katanya.
Awal Mula Tradisi Ma’nene
Gambar dimuat di http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama
Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk
kawasan hutan pegunungan Balla.
Dikisahkan di tengah perburuan, Pong Rumasek, warga Toraja,
menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia. Jasad itu tergeletak di tengah
jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya mengenaskan.
Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong Rumasek
tergugah. Ia ingi merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju yang dipakainya.
Setelah dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar binatang
buruan, dia selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan.
Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman
pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan,
hasilnya berlimpah.
Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui
arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak
berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang
meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang
belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan
Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, upacara pemakaman
untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai
perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang
tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.
Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka
pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene.
Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka masih
dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene,
maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin
lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini
merupakan satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin
hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga
desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang
diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa.
Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit
berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang
berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih
menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan
yang bernama Sawerigading.
Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu
lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu
ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi.
Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya
selalu dikuburkan di liang batu.
Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup
masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi.
Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam
tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada
kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi
keluarga Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak
pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali
dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar
masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali
menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang
menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya
ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti
dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul
menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia
setahun lalu–diturunkan.
Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan
membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang
melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat
sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazahpun mulai diturunkan dari
lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu.
Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian.
Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu,
menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad
leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Ilustrasi dimuat di http://oppungmulajadi.blogspot.com/
Ilustrasi dimuat di http://oppungmulajadi.blogspot.com/
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari
tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru
oleh masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya
di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan
melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat
dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah
tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Ilustrasi dimuat di https://kinko.wordpress.com
Ilustrasi dimuat di https://kinko.wordpress.com
Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya,
melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan untuk
menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad
leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang
dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur
semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang
diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya
dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak.
Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah
dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. Kini,
keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan
batu (patane)–setelah bertahun-tahun berlalu–kemudian diangkat dan dikeluarkan.
Di situ para kerabat keluarga akan menangis. Tapi ada tradisi kuno yang
dilakukan warga Toraja, selain mengeluarkan mayat, mereka juga membangkitkan
mayat. Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa disuruh berjalan pulang ke rumah.
Hii…ngeri.
Yah, inilah fakta yang terjadi di Tana Toraja. Dan, mungkin
hanya ada di tempat ini. Jika selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton di
film-film yang tidak nyata, maka tradisi mayat berjalan di Tanah Toraja
benar-benar ada di depan mata dan sangat nyata.
Cerita mengenai mayat berjalan banyak versinya. Versi yang
pertama menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi perang
saudara di Tana Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang Toraja Barat dan
Toraja Timur.
Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah telak.
Sebagian besar tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung, seluruh mayat
Toraja Barat bangkit dari kematin. Dan, berjalan. Sedang orang Toraja Timur,
walaupun hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat saudara mereka
yang mati. Perang itu dianggap seri.
Sementara versi kedua, mayat berjalan kaku dan agak
tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan masa lalu. Dulu,
orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah yang bergunung-gunung. Di
sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya dengan berjalan kaki.
“Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu. Mereka tidak
mengenal pedati, delman, gerobak atau semacamnya. Dalam perjalanan itu, banyak
dari mereka yang jatuh sakit dan mati,” cerita warga setempat.
Nah, supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang
tidak dikenal (orang Toraja sangat menghormati roh orang mati), maka dengan
satu ilmu gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu kemudian dapat berjalan
pulang. Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak menyusahkan manusia lain.
Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah sepanjang
perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu baru berhenti bila
ia sudah meletakkan badannya di dalam rumahnya sendiri.
Kendati demikian masih ada satu pantangan, yakni mayat yang
berjalan tidak boleh disentuh. Kalau disentuh, hipnotisnya hilang.
Pada keturunan selanjutnya, orang-orang Toraja sering
menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang
kuburnya. Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni keluarganya. Di
rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk mayat-mayat tersebut.
Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah itu. Setiba di rumah
mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah sebelumnya, yakni
patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga dituturkan, Ardiansyah (28),
warga asli Tanah Toraja. Dia mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri dengan
mata telanjang, ada mayat berjalan sendiri.
“Kejadiannya sekitar tahun 1992. Waktu itu saya baru kelas 3
SD. Pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya
meninggal. Seperti adat orang Toraja, sang mayat tidak langsung dikuburkan
tetapi masih harus melalui prosesi adat rambu solo atau penguburan,” jelas
Ardiansyah.
Setelah mayat dimandikan, lanjut Ardiansyah, mayat itu
kemudian diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum
dimasukkan ke peti jenasah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk
membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti.
“Saat itu saya duduk di teras rumah, tiba-tiba ada kegaduhan
dalam rumah. Semua ibu-ibu berteriak. Karena penasaran, saya berusaha melongok
ke dalam rumah. Dan astaga, mayat ibu Pngbarrak berjalan keluar dari kamar,”
kenang Ardiansyah.
Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan temannya kontan
berteriak histeris. Saking takutnya mereka langsung berlari menuruni tangga.
“Saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil berteriak
histeris. Setelah itu saya langsung dibawa pulang ke rumah dan saya tidak tahu
apa yang terjadi selanjutnya,” cerita Ardiansyah yang mengaku baru pertama kali
melihat mayat berjalan.
Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat seluruh warga
heboh. Dan informasi yang diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja melakukan
ritual tersebut karena dia ingin menghormati ibunya. Cuma pada malam itu, dia
tidak ingin memindahkan ibunya. Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan ilmunya.
Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di kuburan batu, sewaktu-waktu dia akan
menarik ibunya kembali untuk diajak pulang. Tentunya dengan cara berjalan
sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu
nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di
pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu soal itu. Yang kami
tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu. Mereka bisa awet
hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan
keluarganya di kuburan batu.
Cuma, yang dibingungi Ardiansyah, adalah mayat berjalan.
Menurutnya tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh orang Tanah Toraja.
Mereka yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang
diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat.
“Itu ilmu kuno. Di jaman sekarang tak banyak orang bisa
melakukan itu,” kata Ardiansyah.
Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga pernah diajari
kakeknya. Tapi karena membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia urung
mempelajari ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki ilmu membangkitkan orang mati,
mereka awalnya mempraktekkan pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu
dalam keadaan leher terputus.
“Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan
dikuliti habis pun, jika diberi mantera-mantera atau ilmu gaib Tanah Toraja,
mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk ke sana sini,”
kutip Ardiansyah yang mengaku bangga dengan adat leluhurnya.
Meski begitu, tradisi Tanah Toraja menjalankan mayat dari
rante (tempat persemayaman) ke patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa dilakukan
oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut dapat berjalan karena doa-doa yang
dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum.
Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebab
masyarakat Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi. “Ritual Ma’nene
sebenarnya tidak hilang, cuma jarang dipakai saja. Tapi bila mau masuk ke pelosok
desa, ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan. Sebab warga Toraja masih
percaya dengan hal-hal mistik dan karena mereka ingin menjaga kekhasan budaya
leluhur agar tidak hilang.
Sumber: siaga.co.
0 comments:
Post a Comment