notasi atau serat kanayagan yang dipergunakan dalam karawitan Sunda
ialah serat kanayagan Daminatila atau notasi Machyar. Lambang Not yang
dipergunakan ialah angka. Daminatila buah karya Rd. Machyar
Anggakusumadinata pada tahun duapuluhan. Kata-katanya sendiri diambil
dari kalimat; Ada ada minangka pranata-ning laras.
Daminatila (1,2,3,4,5) adalah nada-nada relative, artinya kedudukannya
bisa ditempatkan/disamakan/disurupkeun dengan nada apa saja asal yang
tersusun dalam nada-nada karawitan Sunda, sedangkan nada-nada pokok
biasa disebut nada mutlak. Yang dimaksud dengan nada mutlak itu sendiri
adalah nada yang telah tetap susunannya dan tidak bisa berubah
kedudukannya. System notasi (serat kanayagan) daminatila dipergunakan
untuk semua laras dan surupan yang selalu bertautan dengan susunan
nada-nada mutlaknya. Nada-nada mutlak itu tersesusun sebagai berikut:
a. Tugu, Barang, Nem;
b. Kenong, Loloran;
c. Panelu;
d. Bem, Galimer;
e. Singgul, Petit’
Demikianlah nada-nada pokok dalam karawitan Sunda yang terdiri dari
lima nada. Susunan nada di atas sama penerpannya dalam laras pelog dan
salendro.
Daminatila adalah nada-nada relative, dengan kerelatipannya itu,
daminatila bisa disurupkan dengan kelima nada mutlak, umpamanya:
Da = Tugu
Da = Panelu
Da = Galimer
Susunan not angka yang diterapkan pada serat kanayagan daminatila
tersusun sebagai berikut:
1 = da
2 = mi
3 = na
4 = ti
5 = la
Berbeda dengan musik yang mempergunakan solmisasi (doremifasolasido)
sebagai tangga nada naik, maka serat kanayagan dami natila tangga
nadanya adalah tangga nada turun. Jadi deretan nada itu tersusun dari
nada tinggi menurun ke nada-nada yang rendah. Hal ini berlaku untuk
semua laras dan surupannya,. Untuk jelasnya, perhatikan gambar di bawah
ini.
Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan
daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera,
legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru
berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah
penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada
memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan
pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik
di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat
kanayagan berarti nada rendah.
Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah
tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda
identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan
kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+),
sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang
dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu
titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada
mutlak seterusnya.
Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan
nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya.
Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai
contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka
penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka
penulisannya tertera 1-
Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada
karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan
kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan
miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara
dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada
mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval)
di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak
dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana
terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras
salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit
berjauhan.
Pada dasarnya tanda-tanda baca yang dipergunakan dalam serat kanayagan
daminatila sama dengan musik. Artinya tentang garis harga, matera,
legato dan tanda-tanda yang lainnya. Tetapi ada satu hal yang justru
berbeda sekali dengan kebiasaan dalam notasi musik, hal itu ialah
penggunaan tanda titik untuk nada tinggi atau rendah. Sebuah nada
memakai titik di atasnya, untuk musik berarti nadanya tinggi sedangkan
pada karawitan berarti nadanya rendah, demikian pula sebaliknya titik
di bawah nada, untuk musik berarti nada tinggi dan untuk serat
kanayagan berarti nada rendah.
Tanda baca lainnya yang sangat berbeda dengan penulisan musik ialah
tentang istilah malang dan miring. Istilah malang dalam karawitan Sunda
identik dengan istilah mol, sedangkan istilah miring identik dengan
kruis pada musik. Tanda untuk malang mempergunakan lambing plus (+),
sedangkan lambing miring menggunakan lambing min (-). Tanda malang
dipergunakan bila sebuah nada bergeser lebih besar, yang biasanya satu
titik suara yang tidak sama (tidak sampai sama) dengan deretan nada
mutlak seterusnya.
Penggunaan kata malang dan miring ditempatkan pula pada kedudukan
nada-nada mutlak. Misalnya Tugu malang, Panelu miring dan sebagainya.
Jadi tidak benar kalau disebutkan da malang atau da miring. Sebagai
contoh perhatikan contoh di bawah ini:
Tugu malang seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu maka
penulisannya tertera 1+
Tugu miring seandainya surupan yang dipergunakan ieu da = Tugu, maka
penulisannya tertera 1-
Untuk lebih mengetahui kegunaan atau penerapan malang dan miring pada
karawitan Sunda, maka akan terlihat jelas apabila memperhatikan
kedudukan nada dalam susunan laras pelog dan laras salendro. Malang dan
miring lebih berfungsi sebagai nada-nada sisipan yang berada di antara
dua nada mutlak. Itu pun terjadi apabila susunan di antara kedua nada
mutlak itu tidak berhimpitan sehingga memungkinkan ada jarak (interval)
di antara keduanya. Kalau tidak, maka malang dan miring tidak
dipergunakan. Hal ini akan terasa pada susunan laras pelog, dimana
terdapat beberapa nada yang jaraknya berhimpitan, sedangkan dalam laras
salendro, malang dan miring lebih berperan karena jaraknya yang sedikit
berjauhan.
6.1. Sistem Notasi dalam Laras Pelog
Menurut teori Rd. Machyar Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan
Rinengga Swara, disebutkan bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan
suara. Dari jumlah sembilan suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima
yang berlaku sebagai suara lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara
hiasan (Uparengga Suara). Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai
berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang
biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)
Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah
sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu
Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam
untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na,
ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita
mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan
surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan
seterusnya.
Surupan dalam laras Pelog
Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus
berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra
gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan
nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu
Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah
tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang
perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan
tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya
membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila
dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan
tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu.
Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D,
suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan
perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama
pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung
1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet
yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan
Patet Barang sama dengan Sorog.
6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro
Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama,
antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda,
antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut
terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara
dari masing-masing nadanya.
a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan
interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent, jelasnya lihat
susunan salendro padantara berikut ini:
Tb) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan
interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan
yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke
Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara
menjadi tiga titik suara. Untuk jelasnya lihat bagan salendro bedantara
di bawah ini:
Perbedaan antara Padantara dan Bedantara dilihat secara sepintas kurang
begitu jelas, tetapi pada prakteknya sangat terasa sekali, terutama
dalam penggunaan surupannya. Dalam buku Pangawikan Rinengga Swara karya
Rd. Machyar Anggakusumadinata disebutkan adanya penambahan dua suara
dalam salendro bedantara yaitu adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun
kedudukan nada Panangis dan Sorog itu sangat berlainan dengan
penempatan pada laras pelog. Perhatikan kedudukan dua nada pada
penampang di bawah ini:
Dengan adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka
salendro ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P
Sekar Tonggeret
da = G 6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam
laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara
secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri.
(Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada
pokok dalam laras Salendro.
Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada
pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas
nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras.
Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh
suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya,
perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.
Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu
perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada
pokok salendro ( S,G,P,L,T)
6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan
Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau
biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada
yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.
Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang
tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur
dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang
lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi
tiap-tiap patet.
Penampang Laras Degung Tri Suara dalam kedudukannya mengisi tiap-tiap
patet
Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada
antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda
berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian
pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara,
sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.
Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai
perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita
berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja,
gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang
berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak
berstandar pada ukuran tembang Sunda.Menurut teori Rd. Machyar
Anggakusumadinata dalam bukunya Pangawikan Rinengga Swara, disebutkan
bahwa laras pelog itu terdiri dari sembilan suara. Dari jumlah sembilan
suara itu dibagi dua bagian, yaitu lima yang berlaku sebagai suara
lulugu (suara pokok) dan empat sebagai suara hiasan (Uparengga Suara).
Kesembilan nada-nada itu tersusun sebagai berikut:
a. Tugu
b. Kenong/Loloran
c. ----- Bungur
d. ----- Panangis
e. Panelu
f. Galimer/Bem
g. Singgul
h. ----- Pamiring
i. ----- Sorog
(Catatan: tanda ----- menunjukan nada papas/hiasan/uparengga suara yang
biasanya berada di antara dua nada yang mempunyai interval besar)
Penerapan notasi (serat kanayagan) dari laras pelog yang berjumlah
sembilan suara itu tersusun sebagai berikut:
Laras Pelog 1 = Tugu
Tugu = 1 dibaca da
Kenong = 2 dibaca mi
Bungur = 3- dibaca ni
Panangis = 2+ dibaca meu
Panelu = 3 dibaca na
Bem/Galimer= 4 dibaca ti
Singgul = 5 dibaca la
Pamiring = 1- dibaca di
Sorog = 5+ dibaca leu
Jadi, susunan nada-nada pelog dalam surupan da = Tugu, tersusun dalam
untaian nada relatif daminatila sebagai berikut: da, mi, ni, meu, na,
ti, la, di, leu. Susunan nada-nada ini akan selalu tetap walaupun kita
mengubah-ubah surupannya. Untuk latihan ada baiknya dicoba penggunaan
surupan da = Kenong/Loloran, da = Panelu, da=Bem/Galimer, dan
seterusnya. Surupan dalam laras Pelog
Dilihat dari jumlah nada pada laras pelog maka surupan yang ada harus
berjumlah sembilan, namun dalam pelaksanaan prakteknya dalam waditra
gamelan pelog hanya bisa dimainkan tiga surupan. Hal ini disebabkan
nada panangis dan pamiring belum ada. Nama ketiga surupan itu adalah:
(a) Surupan Jawar menggunakan surupan 1 (da) = Tugu
(b) Surupan Liwung mempergunakan surupan da (1) = Galimer
(c) Surupan Sorog mempergunakan surupan da (1) = Panelu
Dari perbedaan ketiga surupan itu, jelas bahwa yang menonjol adalah
tinggi rendahnya surupan yang dipergunakan, tetapi ada satu hal yang
perlu pula diperhatikan bahwa walaupun kenyataannya perbedaan
tinggi-rendah itu yang berbeda, ada satu hal lagi yang kiranya
membedakan perbedaan yaitu suasana. Hal ini sangat berbeda apabila
dibandingkan dengan musik (tangga nada diatonis), dimana penggunaan
tinggi rendah nada tidak terlalu membawa perbedaan terhadap jiwa lagu.
Sebagai contoh sebuah lagu yang sama dimainkan di do=C dan do=D,
suasananya akan tetap sama. Tetapi dalam karawitan Sunda, dengan
perbedaan surupan sekaligus membawa suasana yang berbeda pula (terutama
pada ketiga surupan di atas, JATU LIGA SOPA , Jawar 1=Tugu, Liwung
1=Galimer dan Sorog 1 = Panelu)
Dlam karawitan Jawa ketiga surupan tersebut lebih dikenal sebutan patet
yaitu, patet Nem sama dengan Jawar, patet lima sama dengan Liwung dan
Patet Barang sama dengan Sorog.
6.2. Sistem Notasi dalam Laras Salendro
Laras Salendro ada dua macam yaitu Salendro Padantara (Pada=sama,
antara=interval/jarak nada) dan Bedantara (Beda=berbeda,
antara=interval/jarak nada) Perbedaan kedua laras salendro tersebut
terldapat pada jumlah nada yang dipergunakan dan interval/swarantara
dari masing-masing nadanya.
a) Salendro Padantara mempunyai jumlah nada sebanyak 15 nada, dengan
interval masing-masing nada adalah sama yaitu 80 cent,
b) Salendro Bedantara mempunyai jumlah nada sebanyak 17 nada, dengan
interval masing-masing nada kurang lebih berkisar 70,58 cent. Perbedaan
yang mendasar dengan Salendro padantara ialah jarak suara Loloran ke
Panelu dan Singgul ke Tugu, yang biasanya berjarak dua titik suara
menjadi tiga titik suara. Perbedaan antara Padantara dan Bedantara
dilihat secara sepintas kurang begitu jelas, tetapi pada prakteknya
sangat terasa sekali, terutama dalam penggunaan surupannya. Dalam buku
Pangawikan Rinengga Swara karya Rd. Machyar Anggakusumadinata
disebutkan adanya penambahan dua suara dalam salendro bedantara yaitu
adanya suara Panangis dan Sorog. Adapun kedudukan nada Panangis dan
Sorog itu sangat berlainan dengan penempatan pada laras pelog. Dengan
adanya suara Sorog dan Panangis dalam salendro Bedantara, maka salendro
ini mempunyai tiga surupan, yaitu:
Surupan da = Tugu, disebut Sekar Manisi atau Sari Arum
Surupan da = Panelu, disebut Sekar Roneng
Surupan da = Galimer, disebut Sekar Tonggeret
Perhatikan penampang ketiga surupan pada penampang di bawah ini:
Sekar Manis
da = T
Sekar Roneng
da = P
Sekar Tonggeret
da = G
6.3. Sistem Notasi dalam Laras Madenda
Laras Madenda selain berkembang dalam surupannya, juga bercabang dalam
laras-laras lain. Dengan system tumbuk nada dan pembentukan swarantara
secara mandiri, jadilah laras lain dari patokan salendro itu sendiri.
(Tumbuk nada adalah berpadunya nada dalam Madenda dengan nada-nada
pokok dalam laras Salendro.
Dalam laras Madenda suara-suara yang tumbuk biasa padu pada nada-nada
pokok salendro yang mempunyai tugas dalam tiap patetnya. Tugas-tugas
nada itu antara lain Patokaning laras, Panglangen dan Renaning Laras.
Dalam tiap patet ada tiga nada yang tumbuk dan nada-nada itu diisi oleh
suara-suara ti, la dan mi dalam laras madenda. Untuk jelasnya,
perhatikan susunan nada-nada dalam laras Madenda untuk setiap patet.
Penampang ini diolah dari laras Salendro Padantara, untuk itu
perhatikan pada setiap patet ada nada-nada yang tumbuk dengan nada
pokok salendro ( S,G,P,L,T)
6.4. Sistem Notasi dalam Laras Degung
Laras degung terdiri dari dua macam, yaitu: Laras Degung Dwi Swara dan
Laras degung Tri Suara.
Laras Degung Dwi Suara ialah degung dengan aturan nada tumbuk dua atau
biasa disebut degung “mi-la”, sedangkan Degung Tri Suara jumlah nada
yang tumbukny ada tiga buah, yaitu suara Na, Ti dan Da.
Seperti halnya Laras Madenda yang mempunyai susunan nada-nada yang
tersendiri, degung pun demikian pula halnya. Susunan suara yang diatur
dalam tiap gembyangannya, mrmbawa jiwa laras yang berbeda dengan yang
lainnya.
Perhatikan penampang laras Degung Dwi Suara dalam kedudukannya mengisi
tiap-tiap patet.
Apabila kita perhatikan dengan seksama perbedaan jarak-jarak nada
antara degung dan madenda, jelas jarak suara “na – ti” pada madenda
berdekatan, sedangkan pada degung berjarak dua titik suara. Demikian
pula suarantara “ti – la”. Pada madenda berjarak dua titik suara,
sedangkan pada degung jaraknya berdekatan.
Lagu dalam laras degung dan lagu dalam gamelan degung mempunyai
perbedaan yang sangat besar. Hal ini akan sangat jelas apabila kita
berorientasi pada teknis iringan. Untuk sekadar catatan saja,
gamelan-gamelan degung yang berada di Pasundan sangat jarang
berorientasi pada gamelan salendro. Dalam surupannya lebih banyak
Home
/ Suling Sunda
Wednesday, 16 January 2013
Suling Sunda
evan
회망은 꿈이 아니라 꿈을 실현하는 방법이다 ( Harapan bukanlah impian, tetapi jalan membuat impian menjadi nyata ** Cardinal Sueneus )
0 comments:
Post a Comment